Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perencanaan
Pembelajaran PAI
Dosen pengampu : Ayep Rosidi,
Di susun oleh,
: 1. Anik Rosyidah FZK
: 1. Anik Rosyidah FZK
2. Miftakhul
Jann
3. Umi Masruroh
UNIVERSITAS DARUL ULUM ISLAMIC CENTRE SUDIRMAN GUPPI
(UNDARIS)
Jln.tentara pelajar 13 Telp.(024) 76912117 Ungaran Kode Pos
50514
Tahun ajaran 2013-2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Lembaga
pendidikan Islam bisa dikategorikan sebagai lembaga industri mulia (noble
industri) karena mengemban misi ganda, yaitu profit sakaligus sosial. Misi
profit, yaitu untuk mencapai keuntungan, ini dapat dicapai ketika efisiensi dan
efektivitas dana bisa tercapai, sehingga pemasukan (income) lebih besar dari
biaya operasional. Misi Sosial bertujuan untuk mewariskan dan
menginternalisasikan nilai luhur. Misi kedua ini dapat dicapai secara maksimal
apabila lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki modal human-capital dan
sosial capital yang memadai dan juga memiliki tingkat keefektifan dan efesiensi
yang tinggi, itulah sebabnya mengelola lembaga pendidikan Islam tidak hanya
dibutuhkan profesionalisme yang tinggi, tetapi juga niat-niat suci lainnya[1],
termasuk didalamnya menginovasi berbagai metode pembelajaran.
Pada
dasarnya pendidikan Islam menekankan pada “bimbingan” bukan “pengajaran” yang
mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan, katakanlah guru,
dengan bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, maka anak didik mempunyai
ruang gerak yang cukup luas mengaktualisasikan segala potensi yang di
milikinya. Disini guru, berfungsi sebagai “fasilitator” penunjuk jalan kearah
penggalian potensi anak didik, dengan demikian guru bukanlah segala-galanya,
sehingga guru cenderung menganggap anak didik bukan apa-apa, selain manusia yang
kosong yang perlu di isi[2].
Dengan kerangka dasar pengertian ini, maka guru menghormati anak didik sebagai
individu yang memilliki berbagai potensi, Dari kerangka pengertian dan hubungan
antara peserta didik dengan pendidik, dapat pula sekaligus dihindari, apa yang
disebut “Bangking concep”[3]
dalam pendidikan yang banyak dikritik dewasa ini. Penerapan semacam ini yang
dicoba inquiri.
Pendidikan
Islam dalam era globalisasi ini menghadapi tantangan terutama moral sosial
yaitu kegiatan penataan kehidupan yang paling baik yang seharusnya dialami oleh
generasi muda agar mampu menghadapi masa depan dengan integritas (kesatuan)
yang tangguh. Untuk itu maka Pendidikan Islam diharapkan mampu menyusun
polapikir yang sistematis untuk membina pribadi muslim yang kreatif dan
berintegritas tinggi, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang
terjadi di masyarakat. Dengan demikian maka pendidikan Islam dapat mengajarkan
moral positif yang berakar pada nilai-nilai Islami, sebagai pendorong moral
reasoning atau penalaran akhlak yang sangat dibutuhkan untuk menentukan pilihan
dan keputusan tentang masalah-masalah baru yang muncul dalam proses pembangunan
ini[4].
Keberhasilan
proses belajar mengajar dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor. Baik itu secara teknis maupun nonteknis. Tidak
hanya guru dan murid yang berperan dalam keberhasilan pendidikan akan tetapi lebih
dari itu juga harus ditunjang aspek lain. Salah satu aspek yang sangat penting
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan adalah metode.
Seorang
guru perlu mengetahui sekaligus mengusai berbagai metode dan strategi belajar
mengajar yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Mengingat posisi guru
yang sangat signifikan dengan pendidikan sebagai fasilitator dan pembimbing,
maka dari sini sesungguhnya guru memiliki tugas yang lebih berat tidak hanya
memegang fungsi transfer pengetahuan akan tetapi lebih dari itu guru harus
mampu menfasilitasi siswa dalam mengembangkan dirinya disertai dengan bimbingan
yang intensif. Oleh karena itu guru dituntut untuk lebih kreatif, selektif dan
proaktif dalam mengakomodir kebutuhan siswa guru juga lebih peka terhadap karakteristik
maupun psikis siswa. Beberapa usaha yang dapat dilakukan guru dalam rangka
menciptakan kondisi yang efektif dan kondusif adalah kecekataan dalam memilih
sebuah metode dengan pendekatan emosional dan psikologis siswa untuk itu
seorang guru bukan hanya dituntut untuk bisa menguasai teknik pengelolahan
kelas, keterampilan, mengajar, pemanfaatan sumber belajar, penguasaan emosional
siswa, penguasaan kondisi kelas dan sebagainya.
Dalam
pengelolahan kelas dan penguasaan emosional siswa, biasanya sangat tergantung
pada metode pengajaran guru disaat kegiatan pembelajaran berlangsung. Jika guru
kurang jeli dalam memilih metode Mengajar maka akan menimbulkan kondisi jenuh,
membosankan, monoton dan kurang direspon oleh siswa yang berujung pada tidak
maksimalnya pemahaman siswa terhadap materi. Oleh karena itu menghindari
keadaan seperti itu maka harus diambil sebuah kebijakan dengan menerapkan
sebuah metode yang sekiranya dapat mengantisipasi demi tercapainya tujuan
belajar. Sebenarnya dari beberapa metode mengajar tersebut tidak ada satupun
yang merupakan metode mengajar yang terbaik. Karena hal ini tergantung dari
kondisi siswa itu sendiri pada hakikatnya sebuah metode mengajar adalah baik,
karena mengandung unsur keaktifan belajar dari semua komponen maka dari itu
dalam penilaian metode hendaknya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi
siswa.
Selama
ini metode yang digunakan oleh guru-guru dalam proses pembelajaran adalah
metode pembelajaran konvensional yang hanya meliputi siswa datang, duduk,
menulis materi yang telah dituliskan oleh guru dipapan tulis, mendengarkan guru
menjelaskan materi dan mengerjakan tugas, dengan menggunakan metode yang masih
konvensioanal yaitu metode ceramah, dengan menggunakan metode ceramah cenderung
pasif dalam proses pembelajaran, dan cepat bosan bila mendengarkan penjelasan
dari guru, banyak siswa yang ngantuk ketika mengikuti pembelajaran.
Dari
situasi pembelajaran semacam ini hampir tidak ada kesempatan bagi siswa untuk
menuangkan kreatifitasnya (rasa, cipta, karsa) guna mengaktualisasikan potensi
dirinya untuk berinovasi, ataupun berbagi diri (sharing) untuk sedini mungkin
mengoptimalkan kemampuan, mengidentifikasi, merumuskan, mendiagnosis, dan
sedapat mungkin memecahkan masalah (problem solving).
Demikian
juga para guru kurang atau hampir tidak di bekali dengan metodologi yang
variatif untuk membelajarkan materi pelajaran secara inovatif dan pembelajaran
yang aktif (active learning). Pikiran para guru selalu dipenuhi dengan upaya
mengajarkan apa yang ada dalam kurikulum dan sedapat mungkin mengejar target
mata pelajaran yang telah dirumuskan dalam kurikulum, mereka hampir tidak
perpikir akan upaya meyakinkan siswa untuk belajar dikelas maupun di luar kelas
yang memiliki relevansi dan kondisi perubahan sosial masyarakat yang ada
disekitar kehidupannya. Suatu kondisi yang akan segera mereka temui setelah
menyelesaikan studinya, lebih-lebih sekolah yang memiliki misi yang menyiapkan
calon pelajar pada jenjang yang lebih tinggi. Seyogyanya sudah harus dibiasakan
akan model pembelajaran aktif, sebab tanpa dasar pengalaman belajar aktif akan
sangat sulit bagi mereka untuk menerapkan strategi pembelajaran aktif
dikelas–kelas yang mereka hadapi.
Model
pembelajaran aktif nampaknya merupakan jawaban atas permasalahan tentang
rendahnya mutu kualitas pembelajaran ini diharapkan lebih meningkat, sebab pada
model pembelajaran ini keaktifan siswa atau peserta didik lebih diutamakan.
Dengan pelibatan mereka secara aktif dalam proses pembelajaran, maka mereka
mengalami atau bahkan menemukan ilmu yang akan menjadi pengetahuan yang
mempribadi. Untuk mencapai kualitas pembelajaran itulah, maka keterampilan guru
dalam proses pembelajaran antara lain mencakup; keterampilan merencanakan
pembelajaran, keterampilan melaksanakan pembelajaran dan keterampilan
mengevaluasi proses pembelajaran baik yang akan dilaksanakan maupun yang sudah
dilaksanakan.
Pendekatan
pembelajaranpun seharusnya juga diubah, pendekatan pembelajaran yang
berorentasi pada guru (teacher oriented) harus diubah menjadi pendekatan pembelajaran
yang berorientasi pada siswa (student oriented) Pentingnya perubahan pendekatan
pembelajaran ini dapat kita kaitkan dengan ungkapan filosofis besar cina
Konfusius yakni “apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya
ingat; apa yang saya lakukan, saya paham”. Ungkapan Konfisius tersebut
memberikan inspirasi terhadap pendekatan pembelajaran dikelas yang sering
dikenal dengan istilah (active learning). Dalam model ini, pengetahuan,
pengalaman dan keterampilan ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa
sendiri[5].
Berangkat
dari inovasi pembelajaran dan pentingnya perubahan pendekatan pembelajaran yang
juga karena tuntutan perubahan kurikulum dan demi peningkatan kualitas out put
pendidikan, maka tulisan fokuskan pada pembahasan ini pada metode pembelajaran
inquiry.
[1] Sutiah, Dkk. Manajemen Pendidikan
Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah.
Jakarta : Pernada Media Group, 2009. Hal.
[2] Azymardi Azra. Pendidikan Islam, Tradisi dan modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta. Wacana Ilmu.2002. hal. 6-7
[3] Bangking Concep of Education, (konsep pendidikan anak) adalah satu istilah yang diperkenalkan Paulo Faire,
Pedagogy of the opressed, Pinguin Books. 1978. konsep ini merupakan satu gejala
dimana guru berlaku sebagai penyimpan yang
memperlakukan murid-muridnya sebagai tempat penyimpan semacam Bank, yang
kosong dan perlu diisi. Dalam proses semacam ini murid-murid tidak lebih
sebagai gudang, yang tidak kreatif sama sekali. Murid dianggap berada dalam
kebodohan absolut (absolute ignorance), ini merupakan satu penindasan kesadaran
manusia. membangkitkan kesadaran manusia yang tertindas dalam kultur bisu
(cultur of silance) ini diperlukan conscientization atau proses
penyadaran.
[4] Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. Dasar-Dasar Kependidikan Islam
(Surabaya: P.T Karya Aditama) hlm 127.
[5] M.
Silberman dalam Fatah Yasin, Dimensi – Dimensi Pendidikan Islam (Malang: UIN –
Malang Pres 2008), hlm. 181
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pembelajaran berbasis inquiri
Inquiry
berasal dari bahasa inggris “inquiry”, yang secara harfiah berarti
penyelidikan. Carin dan Sund (1975) mengemukakan bahwa inquiry adalah the
process of investigation a problem. Adapun Piaget mengemukakan bahwa metode
inquiry merupakan metode yang mempersiapkan peserta didik untuk melakukan
eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan
sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawabannya sendiri,
serta menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan
apa yang ditemukan peserta didik lain[6].
Inquiry
adalah yaitu menemukan. Metode inquiry adalah suatu teknik atau cara yang
digunakan guru untuk mengajar kedepan kelas, adapun pelaksanaannya sebagai
berikut:
·
Guru membagi tugas meneliti sesuatu masalah
·
Siswa dibagi beberapa kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat
tugas tertentu
·
Kemudian mereka mempelajari, meneliti dan membahas tugasnya didalam
kelompok.
·
Setelah hasil kerja kelompok mereka mendiskusikan, kemudian baru
didiskusikan dalam forum[7].
Metode
inquiry adalah cara penyampaian bahan pengajaran dengan memberi kesempatan
kepada siswa untuk belajar mengembangkan potensi intelektualnya dalam jalinan
kegiatan yang disusunnya sendiri untuk menemukan sesuatu sebagai jawaban yang
meyakinkan terhadap permasalahan yang dihadapkan kepadanya melalui proses
pelacakan data dan informasi serta pemikiran yang logis, kritis (teliti dalam
menghadapi sesuatu) dan sistematis (teratur)[8].
Pembelajaran
dengan metode inquiry merupakan satu komponen penting dalam pembaruan
pendidikan. Karena dalam pembelajaran dengan metode ini siswa di dorong untuk
belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri. dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki
pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri[9].
Jadi inquiry memberikan kepada
siswa pengalaman-pengalaman belajar yang nyata dan kreatif. Siswa diharapkan
mengambil inisiatif, mereka dilatih bagaimana memecahkan masalah, membuat
keputusan, dan memperoleh keterampilan. inquiry memungkinkan siswa dalam
berbagai tahap perkembangannya bekerja dengan masalah-masalah yang sama dan
bahkan mereka bekerja sama mencari solusi terhadap masalah-masalah yang sedang
dihadapi.
Melakukan
inquiry berarti melibatkan diri dalam tanya jawab, mencari informasi dan
melakukan penyelidikan. Karena itu metode inquiry dalam proses belajar mengajar
adalah strategi yang melibatkan siswa dalam tanya jawab, mencari informasi, dan
melakukan penyelidikan. Dalam pelaksanaan siswa bertanggung jawab untuk memberi
ide atau pemikiran dan pertanyaan untuk dieksplorasi (diselidiki), mengajukan
hipotesa untuk diuji, mengumpulkan dan mengorganisir data yang dipakai untuk
menguji hipotesa dan sampai pada pengambilan kesimpulan yang masih tentative
(sebagai percobaan)[10].
Juga
pembelajaran inquiri merupakan pembelajaran yang menyenangkan/gembira, dimana
dalam prakteknya langsung pada lapangan dan bukan hanya teori, hal ini
sebagaimana pendapat (Darmansyah :2010)
Hasil penelitian dalam dekade terakhir mengungkapkan belajar yang
efektif, jika peserta didik dalam keadaan gembira. Kegembiraan dalam belajar
telah terbukti memberikan efek yang luar biasa terhadap pencapaian hasil
belajar peserta didik. Bahkan potensi kecerdasan intelektual yang selama ini
menjadi “Primadona” sebagai penentu keberhasilan belajar, ternyata tidak
sepenuhnya benar, kecerdasan emosional telah memberikan kontibusi yang
signifikan terhadap efektivitas pembelajaran disamping kecerdasan intelektual[11].
Ketika
peserta didik mendapat rangsangan menyenangkan dari lingkungannya, akan terjadi
berbagai ”sentuhan tingkat tinggi” pada diri peserta yang membuat mereka lebih
aktif dan kreatif secara mental dan fisik, inilah pembelajaran inquiri mental
dan fisik diutamakan, ketika tersenyum atau tertawa aliran darahnya akan
semakin lancar ”menjalar” ke seluruh anggota tubuh yang membuatnya semakin
aktif. Otak mereka menerima suplai darah yang memadai (ketika
bahagia/tersenyum) akan mempermudahkan mereka berpikir dan memproses informasi,
baik dalam memori jangka pendek dan jangka panjang, informasi yang masuk
kedalam otak memori yang melibatkan emosi secara mendalam, akan memudahkan
siswa mengingat pelajaran saat mereka perlukan, Artinya kenyamanan dan
kesenangan yang dinikmati oleh peserta didik itu sangat membantu mereka
mencapai hasil belajar secara optimal.
Metode
inquiry ini berasal dari John Dewey. Maksud utama metode ini adalah memberikan
latihan kepada murid dalam berfikir. Metode ini dapat menghindarkan untuk
membuat kesimpulan tergesa-gesa, menimbang-nimbang kemungkinan pemecahan dan
menangguhkan pengambilan keputusan sampai terdapat bukti-bukti yang cukup[12].
Metode
inquiry juga dikembangkan oleh Suchman untuk mengajar siswa memahami proses
penelitian. Metode inquiry menurut Suchman adalah suatu metode yang merangsang
murid untuk berfikir, menganalisa suatu persoalan sehingga menemukan
pemecahannya. Suchman tertarik untuk membantu siswa melakukan penelitian secara
mandiri dan disiplin.
Hal
ini didasarkan pada pemikiran bahwa anak-anak selalu memiliki rasa ingin tahu.
Suchman menginginkan siswa mempertanyakan mengapa suatu peristiwa terjadi dan
menelitinya dengan cara mengumpulkan data dan mengolah data secara logis.
Dengan demikian maka metode inquiry akan memperkuat dorongan alami untuk
melakukan eksplorasi dengan semangat besar dan dengan penuh kesungguhan.
Metode
ini mengembangkan kemampuan berfikir yang dipupuk dengan adanya kesempatan
untuk mengobservasi problema mengumpulkan data, menganalisa data, menyusun
suatu hipotesa, mencari hubungan data yang hilang dari data yang telah
terkumpul untuk kemudian menarik kesimpulan yang merupakan hasil pemecahan
masalah tersebut.
Cara
berfikir yang menghasilkan suatu kesimpulan atau keputusan yang diyakini
kebenarannya karena seluruh proses pemecahan masalah itu telah diikuti dan di
kontrol dari data yang pertama dan yang berhasil dikumpulkan dan di analisa
sampai kepada kesimpulan yang ditarik atau ditetapkan. Cara berfikir semacam itu
benar-benar dapat dikembangkan dengan menggunakan metode pemecahan masalah.
Inquiry
merupakan teknik yang mempersiapkan peserta didik pada situasi untuk melakukan
eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan
sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri, serta
-menghubungkan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan
yang ditemukan peserta didik lainnya. inquiry sebagai teknik pengajaran
mengandung arti bahwa dalam proses kegiatan mengajar berlangsung harus dapat
mendorong dan dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif dalam
belajar.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode inquiry adalah suatu metode
pengajaran yang memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan
yang sebelumnya belum mereka ketahui.
B.
Landasan Filosifis Kontruktivistik Dalam Metode Inquiry
Teori
pembelajaran kontruktivistik merupakan teori pembelajaran inquiry, merupakan
teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang
menyatakan siswa harus menemukan sendiri dan menstransformasikan informasi
kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya
apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-benar
memahami dan dapat menerapakan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan
masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susuh payah dengan
ide-ide[13].
Konstruktivistik juga merupakan landasan berfikir pembelajaran kontekstual,
yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuaan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkontruksi pengetahuaan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata[14].
Menurut
teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa
guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun sendiri pengetahuan dibenaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk
proses ini, dengan memberikan siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan
ide-ide mereka sendiri, dan membelajarkan siswa dengan cara sadar menggunakan
strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga
yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri
yang harus memanjatnya. Esensi dari teory kontrutivistik dan metode inquiry
adalah ide bahwa (harus siswa sendiri yang menemukan dan menstransformasikan
sendiri suatu informasi kompleks apabila mereka menginginkan informasi itu
menjadi miliknya. Kontrutivisme adalah suatu pendapat yang menyatakan bahwa
perkembangan kognitif merupakan suatu proses dimana anak secara aktif membangun
sistem arti dan pemahaman terhadap realita melalui pengalaman dan interaksi
mereka.
Menurut
pandangan kontrutivisme anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara
terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain
kontrutivisme adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif
siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita. Pendekatan kontruktivis
dalam pengajaran menerapkan pembelajaran kooperatif secara intensif, atas dasar
teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami kosep-konsep yang
sulit apabila mereka dapat saling mediskusikan masalah-masalah itu dengan
temannya. Dan pada dasarnya aliran kontrutuvistik menghendaki bahwa pengetahuan
dibentuk sendiri oleh individu dan pengalaman merupakan kunci utama dari
belajar bermakna. Belajar bermakna tidak akan terwujud hanya dengan
mendengarkan ceramah atau membaca buku tentang pengalaman orang lain. Siswa
perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkontruksikan pengetahuan dibenak
mereka sendiri. Esensi dari teori kontruktivistik adalah ide bahwa siswa harus
menemukan dan mentrasformasikan suatu informasi kompleks kesituasi lai, dan
apabila dikehendaki, informasi itu
menjadi milik mereka sendiri. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun
sendiri pengetahuaan mereka melalui
C.
Penggunaan Metode Inquiry
Menemukan
merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, akan tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu
merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan.
Siklus
Inquiry antara lain:
·
Observasi (observation)
·
Bertanya (questioning)
·
Mengajukan dugaan (Hypothesis)
·
Pengumpulan data (Data
Gathering)
·
Penyimpulan (Conclusion)
Langkah-langkah
kegiatan menemukan (Inquiry), yaitu:
·
Merumuskan masalah
·
Mengamati atau melakukan observasi
·
Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, bagan,
table,dan lainnya.
·
Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada teman sekelas,guru
atau audien yang lain[15].
D.
Tingkatan-tingkatan Inquiry
Berdasarkan
komponen-komponen dalam proses Inquiry yang meliputi topik masalah, sumber
masalah atau pertanyaan, bahan, prosedur atau rancangan kegiatan, pengumpulan
dan analisis data serta pengambilan kesimpulan Bonnstetter (2000) membedakan
Inquiry menjadi lima tingkat yaitu praktikum (tradisional hands-on), pengalaman
sains terstruktur (structured science experiences), Inquiry terbimbing (guided
inquiry), Inquiry siswa mandiri (student directed inquiry), dan Penelitian
siswa (student research). Klasifikasi Inquiry menurut Bonnstetter (2000)
didasarkan pada tingkat kesederhanaan kegiatan siswa dan dinyatakan sebaiknya
penerapan Inquiry merupakan suatu kontinum yaitu dimulai dari yang paling sederhana
terlebih dahulu.
a)
Traditional hands-on Praktikum (tradisional hands-on) adalah tipe
Inquiry yang paling sederhana. Dalam praktikum guru menyediakan seluruh
keperluan mulai dari topik sampai kesimpulan yang harus ditemukan siswa dalam
bentuk buku petunjuk yang lengkap. Pada tingkat ini komponen esensial dari
Inquiry yakni pertanyaan atau masalah tidak muncul,
b)
Pengalaman sains terstruktur (structured science experiences),
yaitu kegiatan Inquiry di mana guru menentukan topik, pertanyaan, bahan dan prosedur
sedangkan analisis hasil dan kesimpulan dilakukan oleh siswa.
c)
Jenis yang ketiga ialah Inquiry terbimbing ( guided inquiry ), di
mana siswa diberikan kesempatan untuk bekerja merumuskan prosedur, menganalisis
hasil dan mengambil kesimpulan secara mandiri, sedangkan dalam hal menentukan
topik, pertanyaan dan bahan penunjang, guru hanya berperan sebagai fasilitator.
d)
Inquiry Siswa Mandiri (student directed inquiry), dapat dikatakan
sebagai Inquiry penuh (Martin-Hansen, 2002) karena pada tingkatan ini siswa
bertanggung jawab secara penuh terhadap proses belajarnya, dan guru hanya
memberikan bimbingan terbatas pada pemilihan topik dan pengembangan pertanyaan.
e)
Tipe Inquiry yang paling kompleks ialah penelitian siswa ( student
research ). Dalam Inquiry tipe ini, guru hanya berperan sebagai fasilitator dan
pembimbing sedangkan penentuan atau pemilihan dan pelaksanaan proses dari
seluruh komponen Inquiry menjadi tangung jawab siswa.
E.
Tujuan Metode Inquiry
Tujuan
metode inquiry adalah agar siswa terangsang oleh tugas, dan kreatif mencari
serta meneliti sendiri pemecahan masalah itu, mencari sumber, dan mereka
belajar bersama dalam kelompok. Tujuan utama dari pada penggunaan metode
inquiry adalah untuk mengembangkan kemampuan berfikir, terutama di dalam
mencari sebab akibat dan tujuan suatu masalah. Metode ini melatih murid-murid
dalam cara-cara mendekati dan cara-cara mengambil langkah-langkah bila akan
memecahkan suatu masalah yaitu dengan memberikan kepada murid pengetahuan
kecakapan praktis yang bernilai bagi keperluan hidup sehari-hari.
Metode
ini memberikan dasar-dasar pengalaman yang praktis mengenai bagaimana cara-cara
memecahkan suatu masalah dan kecakapan ini dapat diterapkan bagi keperluan
menghadapi masalah-masalah lainnya di dalam masyarakat.
Sedangkan
menurut Roestiyah tujuan metode inquiry adalah agar siswa terangsang oleh
tugas, dan kreatif mencari serta meneliti sendiri pemecahan masalah itu,
mencari sumber sendiri dan mereka belajar sendiri dalam kelompok. Mengingat
tujuan tersebut di atas maka pemecahan suatu masalah jangan di ajarkan sebagai
pengetahuan saja, melainkan harus menjadi alat bagi murid untuk selanjutnya
dapat memecahkan masalah sendiri dari segala macam masalah yang mungkin akan
dijumpainya, sekarang maupun kelak, di sekolah, di rumah maupun di masyarakat.
Tujuan-tujuan lainnya selain dari tujuan utama yang telah disebutkan di atas
adalah:
a)
Belajar bagaimana bertindak di dalam suatu situasi baru.
b)
Belajar bagaimana caranya keluar dari situasi yag sulit.
c)
Belajar bagaimana caranya mempertimbangkan suatu keputusan.
d)
Belajar bagaimana caranya membatasi suatu persoalan.
e)
Belajar bagaimana caranya menemukan pemecahan-pemecahan.
f)
Belajar menyadari bahwa setiap masalah pasti ada cara tertentu
untuk memecahkannya.
g)
Belajar meneliti suatu masalah dari semua sudut pemecahan.
h)
Belajar bekerja secara sistematis di waktu memecahkan suatu
masalah.
i)
Belajar menguji kebenaran suatu keputusan yang telah ditetapkan.
Selain
itu juga disebutkan tujuan umum dari latihan inquiry adalah menolong siswa
mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan yang dibutuhkan dengan
memberikan pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu. Dapat
disimpulkan tujuan dari metode inquiry ini adalah untuk membantu siswa dalam
mengembangkan intelektual dan ketrampilannya yang timbul dari
pertanyaan-pertanyaan dan menyelidikinya untuk mendapatkan jawaban sesuai
dengan keingintahuan mereka.
F.
Model Penerapan Inquiry
Contoh
sederhana tentang pembelajaran AL-Qur’an berbasis inquiri adalah sebagai
berikut: Pembelajaran AL Qur’an tentang kandungan ayat “wa’fu anna wagfir lana
warhamna” menurut Ath- Thabathaba’i (1983), bahwa “al-al afwu hiya idzhabu
atsar adz-dzanbi wal maghfirah satruhu” ayat ini berkaitan dengan QS AL
Zalzalah ayat 7-8” Faman ya’mal mistqala zarrah khairan yarah waman ya’mal
zarrah syarran yarah”, kemudian dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari
menyangkut profil manusia yang hidupnya diwarnai oleh nilai-nilai kebaikan dan
keburukan[16].
Contoh
lainnya mengenai pembelajaran AL Qur’an dan Hadis yang kandungannya menyangkut
aspek keimanan, sebagaimana diketahui bahwa masalah keimanan/aqidah banyak
menyentuh aspek metafisika abstrak atau supra-rasional. seorang yang banyak
terlatih dengan hal-hal yang bersifat rasional mungkin sulit mencerna dan
menghayati hal-hal yang supra-rasional tersebut. Untuk mengatasi kesulitan ini
dapat diketahui dengan jalan mengembangkan keimanan berbasis inquiri berbasis
kontestual. Melalui pendekatan ini, peserta didik diajak untuk mengamati dan
mengkaji peristiwa-peristiwa kehidupan sebagai laboratorium (pendidikan agama
islam), baik yang terkait dengan fenomena alam (komologi, flora,fauna,
astronomi, geografi, metereologi, oceanografi, kimia, dll), fenomenal sosial,
psikologis, budaya, maupun fenomena seseorang yang memiliki komitmen adan
loyalitas serta dedikasi yang tinggi terhadap ajaran, nilai-nilai dan petunjuk
Tuhan, ataupun sebaliknya seseorang yang kafir. Dari hasil pengamatan dan
kajian peristiwa-peristiwa kehidupan (sabagai laboratorium pendidikan agama
islam).
Misalnya pembelajran tentang keimanan akan adanya
Allah, takdir dan siksa neraka. Dalam hal ini terdapat kisah yang menarik
sebagai berikut:
Ada
seorang pemuda lulusan dari negeri Paman Sam, kembal ke tanah air, sesampainya
dirumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seoarng guru agama, kiai,
atau siapapun yang bisa menjawab tiga pertanyaannya,
Akhirnya orang tua pemud itu mendapatkan orang guru tersebut.
Pemuda : Anda siapa? Dan apakah bisa
menjawab pertanyaan saya?
Kiai : Saya hamba Allah dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.
Pemuda : Anda yakin
? sedangkan Profesor dan orang pintar saja tidak mampu menjawab pertanyaan
saya.
Kiai :
Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.
Pemuda : Saya punya tiga pertanyaan :
1.
Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan wajud Tuhan kepada saya.
2.
Apakah yang dinamaka TAQDIR?
3.
Kalau setan diciptkan dari api kenapa dimasukkan ke neraka yang
dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat setan, sebab mereka memiliki
unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berpikir sajauh itu.
Tiba-tiba kiai
tersebut menampar pipi si pemuda dengan keras
Pemuda : Kenapa Anda kepada saya? (sambil
menahan sakit)
Kiai : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah
jawaban saya atas tiga pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.
Pemuda :
Saya sungguh-sungguh tidak mengerti
Kiai :
Bagaiman rasanya tamparan saya?
Pemuda :
Tentu saja saya merasakan sakit
Kiai : Anda percaya bahwa sakit itu ada?
Pemuda : YA
Kiai :
Itulah jawaban pertanyaan pertama : kita semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa
mampu melihat wajudnya.
Kiai :
apakah anda tadi malam bermimpi bahwa akan ditampar oleh saya?
Pemuda :
Tidak
Kiai : Apakah pernah terpikir oleh Anda akan
menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?
Pemuda :
Tidak
Kiai :
Itulah yang dinamakan Takdir
Kiai :
Terbuat dari apa tangan saya yang saya
gunakan untuk menampar pipi anda?
Pemuda :
Kulit
Kiai : terbuat dari apa pipi anda
Pemuda :
kulit
Kiai : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda : Sakit
Kiai :
Walaupun setan terbuat dari api, dan neraka terbuat dari api, Jika Tuhan berkhendak maka neraka
akan menjadi tempat menyakitkan untuk setan.
G.
Keunggulan dan Kelamahan Model Inquiry
Model Inquiry
ini memiliki keunggulan yaitu :
a)
Dapat membentuk dan mengembangkan konsep dasar kepada siswa,
sehingga siswa dapat mengerti tentang konsep dasar ide-ide dengan lebih baik.
b)
Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses
belajar yang baru.
c)
Mendorong siswa untuk berfikir dan bekerja atas inisiatifnya
sendiri, bersifat jujur, obyektif, dan terbuka.
d)
Mendorong siswa untuk berpikir intuitif dan merumuskan hipotesanya
sendiri.
e)
Memberi kepuasan yang bersifat intrinsik.
f)
Situasi pembelajaran lebih menggairahkan.
g)
Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu.
h)
Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri.
i)
Menghindarkan diri dari cara belajar tradisional.
Kelemahan model
Inquiry :
a)
Memerlukan waktu yang cukup lama.
b)
Tidak semua materi pelajaran mengandung masalah
c)
Memerlukan perencanaan yang teratur dan matang
d)
Tidak efektif jika terdapat beberapa siswa yang pasif.
e)
Siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental, siswa harus
berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.
f)
Keadaan kelas di Indonesia yang pada kenyataannya memiliki jumlah
yang tidak ideal per kelasnya membuat pembelajaran inquiry ini kemungkinan
besar tidak mencapai hasil yang memuaskan.
g)
Ada kritik, bahwa dalam model inquiry ini terlalu mementingkan
proses pengertian saja atau lebih banyak menguras aspek kognitif namun kurang
memperhatikan perkembangan sikap
[6] Mulyasa. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif
dan Menyenangkan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. 2008., hal. 108
[7] Rostiyah.
Strategi Belajar Mengajar. (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1991) hlm 75.
[8] Slameto. Proses Belajar Mengajar Dalam Proses Kredit Semester SKS.
(Jakarta: Bumi
Aksara, 1993) hlm 116.
[9] Nurhadi & A. G Senduk. Pembelajaran kontekstual (CTL) Dan
Penerapannya dalam KBK. (Malang: Universitas Negeri Malang, 2004)
[10] Sunaryo.
Strategi Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial (Malang: IKIP Malang, 1989)
hal 117.
[11] Darmansyah.
Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta Bumi Aksara. 2010.hal
3-4
[12] Muhaimin.
Strategi Belajar Mengajar (Surabaya: CV Citra media, 1996) hlm 88.
[13] Trianto. Model Pembelajaran Terpadu Dalam Teori Dan Praktek.
(Jakarta : Prestasi
Pustaka, 2007) hlm 26
[14] Nurhadi & A. G Senduk. Pembelajaran kontekstual (CTL) Dan
Penerapannya dalam KBK.
(Malang: Universitas Negeri Malang,
2004).
[15] Roestiyah,
Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Bima Aksara, 1989), hlm. 76
[16] Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta : Raja
Grafindo.2009. Hal. 295
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan-pemaparan di atas, dapat penulis memberikan kesimpulan bahwa untuk
memahami pendidikan secara komprehensif menyeluruh maka kita menggunakan
berbagai macam metode, diantarannya adalah Inquiry berasal dari bahasa inggris
“inquiry”, yang secara harfiah berarti penyelidikan. Pembelajaran dengan metode
inquiry merupakan satu komponen penting dalam pembaruan pendidikan. Karena
dalam pembelajaran dengan metode ini siswa di dorong untuk belajar sebagian
besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri. dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan
melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk
diri mereka sendiri.
Diantara
metodenya adalah: Observasi (observation), Bertanya (questioning), Mengajukan
dugaan (Hypothesis), Pengumpulan data (Data Gathering), Penyimpulan
(Conclusion).
Tujuan
utama dari pada penggunaan metode inquiry adalah untuk mengembangkan kemampuan
berfikir, terutama di dalam mencari sebab akibat dan tujuan suatu masalah.
Metode ini melatih murid-murid dalam cara-cara mendekati dan cara-cara
mengambil langkah-langkah bila akan memecahkan suatu masalah yaitu dengan
memberikan kepada murid pengetahuan kecakapan praktis yang bernilai bagi
keperluan hidup sehari-hari. Waallahu
a’lam bisshowab.
B.
Saran
“Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis
memberikan saran dan harapan bahwa metode pembelajaran PAI berbasis inquiry,
sudah seharusnya guru guru mempelajari, mendalami dan mempraktikkan dalam
proses belajar mengajarnya terutama Guru PAI. Sehingga terwujud pembelajaran
yang menyenangkan”.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka
Sutiah, Dkk.
2009.. Manajemen Pendidikan Aplikasinya
dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta : Pernada Media
Group,
Silberman &
Fatah Yasin, 2008, Dimensi – Dimensi Pendidikan Islam (Malang: UIN – Malang
Pres).
Mulyasa, 2008..
Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan.
Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Darmansyah.
2010. Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta Bumi Aksara.
Trianto. 2007.
Model Pembelajaran Terpadu Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta : Prestasi Pustaka,
Slameto. 1993.
Proses Belajar Mengajar Dalam Proses Kredit Semester SKS. (Jakarta: Bumi
Aksara,
Nurhadi &
A. G Senduk. 2004. Pembelajaran kontekstual (CTL) Dan Penerapannya dalam KBK.
(Malang: Universitas Negeri Malang,)
Rostiyah, 1991.
Strategi Belajar Mengajar. (Jakarta : PT. Rineka Cipta,)
________, 1989.
Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Bima Aksara,)
Sunaryo. 1989.
Strategi Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial (Malang: IKIP Malang,)
Muhaimin, 1996.
Strategi Belajar Mengajar (Surabaya: CV Citra media,)
___________. 2009. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta
: Raja Grafindo
Tim Dosen IAIN
Sunan Ampel Malang. Dasar-Dasar Kependidikan Islam (Surabaya: P.T Karya
Aditama)
[1] Sutiah, Dkk. Manajemen Pendidikan
Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah.
Jakarta : Pernada Media Group, 2009. Hal.5
[2] Azymardi Azra. Pendidikan Islam, Tradisi dan modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta. Wacana Ilmu.2002. hal. 6-7
[3] Bangking Concep of Education, (konsep pendidikan anak) adalah satu istilah yang diperkenalkan Paulo Faire,
Pedagogy of the opressed, Pinguin Books. 1978. konsep ini merupakan satu gejala
dimana guru berlaku sebagai penyimpan yang
memperlakukan murid-muridnya sebagai tempat penyimpan semacam Bank, yang
kosong dan perlu diisi. Dalam proses semacam ini murid-murid tidak lebih
sebagai gudang, yang tidak kreatif sama sekali. Murid dianggap berada dalam
kebodohan absolut (absolute ignorance), ini merupakan satu penindasan kesadaran
manusia. membangkitkan kesadaran manusia yang tertindas dalam kultur bisu
(cultur of silance) ini diperlukan conscientization atau proses
penyadaran.
[4] Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. Dasar-Dasar Kependidikan Islam
(Surabaya: P.T Karya Aditama) hlm 127.
[5] M. Silberman dalam Fatah Yasin, Dimensi – Dimensi Pendidikan Islam
(Malang: UIN – Malang Pres 2008), hlm. 181
[6] Mulyasa. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif
dan Menyenangkan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. 2008., hal. 108
Aksara, 1993) hlm 116.
[9] Nurhadi & A. G Senduk. Pembelajaran kontekstual (CTL) Dan
Penerapannya dalam KBK. (Malang: Universitas Negeri Malang, 2004)
[10] Sunaryo. Strategi Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial (Malang:
IKIP Malang, 1989) hal 117.
Pustaka, 2007) hlm 26
(Malang: Universitas Negeri Malang,
2004).