MAKALAH ULUMUL HADIST
SIFAT SHALAT
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah : Ulumul Hadist
Dosen Pengampu : Widiastuti S.Ag, M.Ag
Disusun oleh :
Anik Rosidah FZK : 13.61.0001
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS DARUL ULUM ISLAMIC CENTRE SUDIRMAN GUPPI (UNDARIS)
20114/2015 M.
BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar belakang
Dalam halnya, shalat secara bahasa adalah do’a, yang dapat
diartikan juga saat melaksanakan shalat merupakan bentuk ritual dalam rangka
memohon (berdo’a) kepada Allah SWT. Sholat juga merupakan tiang agama islam,
yang apabila diibaratkan jikalau kita memiliki rumah namun tidak ada tiang yang
memperkuatnya, maka rumah itu akan roboh dan kemudian hancur. Begitu pula
dengan agama, apabila tidak ada tiang yang memperkokohkannya, maka akan hancur
pulalah agama islam.
Banyak
kasus saat ini banyak kaum muslim yang melalaikan shalat. Sudah merasa biasa
meninggalkan kewajiban shalat. Hal tersebut dapat dofaktori oleh beberapa hal,
diantaranya ketidak tahuan atau lupa akan ancaman bagi orang yang meninggalkan
shalat.
Dalam
bab pembahasan akan dibahas tentang rincian hadist yang membahas tentang
kewajiban kita melaksanakan sholat 5 waktu. Adapun berbagai penjelasan yang
memperkuat hadist tersebut. Penjelasan mengenai perintah Sholat yang diwahyukan
Allah kepada Nabi Muhammad saw : Rasulullah menerima wahyu hanya di dua tempat
yaitu di Mekah dan Madinah, makanya dikenal dengan Ayat-ayat Makiyah dan
Madaniyah, dalam Al Qur’an tidak ditemukan Allah membuat keputusan yang
berubah-ubah, hanya ada beberapa ayat yang turunnya bertahap untuk menetapkan
hukum atau aturan hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teks Hadits
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ
وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Dari Ali
radliallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Kunci shalat
adalah bersuci, yang mengharamkannya (dari segala ucapan dan gerakan di luar
shalat) adalah takbir, dan yang
menghalalkannya kembali adalah salam.” (HR. Abu Daud no.56, Ahmad no.957,
Ad-Darimi no.684, Ibnu Majah no.271, Tirmidzi no.3)*
B.
Bentuk Hadist
1.
Hadist Qauli
Hadis diatar
termasuk hadis qauli karena berupa perkataan atau ucapan Nabi SAW. Yang berisi
berbagai petunjuk syara’, gerakan shalat diawali (Takbiratul Ihram berasal dari
dua kata : Takbir (ucapan Allahu Akbar) dan Ihram (pengharaman), ketika dua
kalimat ini digabung maka bermakna : Ucapan takbir yang memulai pengharaman dari
melakukan hal-hal yg dilarang dalam shalat. Seperti makan, minum, berbicara
kepada selain Allah SWT dan Rasul SAW dan hal-hal yang diajarkan Rasulullah SAW
sebagai mubthilat (yg membatalkan) shalat.
Berdiri tegak
lurus, berdiri tegak, mengangkat kedua tangan sejajar telinga, lalu melipatnya
di depan perut atau dada bagian bawah).
2.
Hadist Nabawi
Disebut hadist
nabawi karena hadist tersebut dinisbatkan kepada Rasul SAW. Dan diriwayatkan
dari beliau.
C.
KOMPONEN
– KOMPONEN HADIST
1.
Sanad
Menurut bahasa artinya “ sandaran, tempat bersandar, yang menjadi
sandaran ( al mu’tamad ) “ atau “ yang bisa dijadikan pegangan “ atau “ sesuatu
yang terangkat ( tinggi ) dari tanah “. Sedangkan menurut istilah :
هو طريق المتن,
أي سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن من مصدره الأول
Sanad adalah
jalan yang menyampaikan kepada matan hadits yaitu silsilah para perawi yang
memindahkan ( meriwayatkan ) matan dari sumbernya yang pertama. Contoh ( yang
bercetak tebal ):
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
مِفْتَاحُ
الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
2.
Matan
Matan menurut bahasa artinya “ membelah, mengeluarkan, mengikat
atau sesuatu yang keras bagian atasnya “. Sedangkan menurut istilah ahli hadits
yaitu :
ما ينتهي إليه
السند من الكلام
Sesuatu yang berakhir padanya ( terletak sesudah ) sanad, yaitu
berupa perkataan. Maksudnya perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni
sabda nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.
Ada juga yang mendefinisikan sebagai :
هو ألفاظ الحديث
التي تقوم بها معانيه
Yaitu lafadz hadits yang memuat berbagai pengertian. Maksudnya
redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung pengertiannya.
Dinamakan matan karena hal ini yang paling penting, yang dicari dan
yang menjadi tujuan dari sebuah hadits. Contoh ( yang bercetak tebal ) :
عَنْ
عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ
وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
3.
Rawi
Rowi menurut bahasa, adalah orang yang meriwayatkan hadits dan
semacamnya. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan
atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan. Syarat-Syarat
Rawi sebagai berikut :
1. Islam, karena itu, hadis dari orang kafir tidak diterima.
2. Baligh, hadis dari anak kecil di tolak
3. ‘Adalah (sifat adil)
4. Dhobth
(teliti, cerdas dan kuat hafalannya)
Contoh : Dari Ali radliallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kunci shalat adalah bersuci, yang
mengharamkannya (dari segala ucapan dan gerakan di luar shalat) adalah
takbir, dan yang menghalalkannya kembali
adalah salam.” (HR. Abu Daud no.56, Ahmad
no.957, Ad-Darimi no.684, Ibnu Majah no.271, Tirmidzi no.3)*
D.
PEMBAGIAN HADIST BERDASAN KUANTITAS RAWI
1.
HADIST HASAN
Hadist yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil namun tidak sempurna kekuatan
hafalannya/dhabith serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat di dalamnya”[2].
Jadi menurut Ibn Hajar hadist hasan adalah hadits shahîh yang kurang pada daya
ingat/hafalan perawinya.
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا
التَّسْلِيمُ
dari Ali radliallahu ‘anhu dia
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kunci shalat adalah
bersuci, yang mengharamkannya (dari segala ucapan dan gerakan di laur shalat)
adalah takbir, dan yang menghalalkannya kembali adalah salam.” ( HR. Abu Dawud,
ibnu Majah, Tirmidzi )
menurut
imam Tirmidzi hadits ini adalah hadits yang baik (hasan) dalam bab ini. Hadits
ini menyatakan bahwa suci dari hadats adalah syarat sah shalat dan bahwa
permulaan shalat hanyalah dengan takbiratul ihram tidak dengan yang lain.
2.
HADIST MUTAWATIR
Kata mutawatir menurut bahasa ialah mutatabi yang berarti
beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Hadis Mutawatir menurut istilah ialah:
"Suatu
hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi,
yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk
dusta."
Ada juga yang
mengatakan:
Artinya:
"Hadits
mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut
adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari
permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap
tingkatan."
Tidak dapat
dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan
dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang
sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita
yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat
mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang
dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini
kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad
SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan
hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut.
Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan
menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan
tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan
sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang
yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah
yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa
sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka
penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits
dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh
rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.
Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran
semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya,
dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau
dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir
walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu
jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4
orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
jumlah saksi yang diperlukan oleh
hakim.
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5
orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya
20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah
tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang
kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut
sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
"Wahai
nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi
penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
3.
Seimbang
jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini
tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa
hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian
ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada,
tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas
tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan
hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits
mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang
masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits
mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah,
susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir,
susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).memang ada, tetapi
jumlahnya hanya sedikit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar