Powered By Blogger

Sabtu, 14 Maret 2015

MAKALAH ULUMUL HADIST SIFAT SHALAT





MAKALAH ULUMUL HADIST
SIFAT SHALAT
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah :  Ulumul Hadist
Dosen Pengampu : Widiastuti S.Ag, M.Ag


Disusun oleh :
Anik Rosidah FZK     :           13.61.0001

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS DARUL ULUM ISLAMIC CENTRE SUDIRMAN GUPPI (UNDARIS)
20114/2015 M.



BAB I
PENDAHULUAN
     A . Latar belakang
Dalam halnya, shalat secara bahasa adalah do’a, yang dapat diartikan juga saat melaksanakan shalat merupakan bentuk ritual dalam rangka memohon (berdo’a) kepada Allah SWT. Sholat juga merupakan tiang agama islam, yang apabila diibaratkan jikalau kita memiliki rumah namun tidak ada tiang yang memperkuatnya, maka rumah itu akan roboh dan kemudian hancur. Begitu pula dengan agama, apabila tidak ada tiang yang memperkokohkannya, maka akan hancur pulalah agama islam.
Banyak kasus saat ini banyak kaum muslim yang melalaikan shalat. Sudah merasa biasa meninggalkan kewajiban shalat. Hal tersebut dapat dofaktori oleh beberapa hal, diantaranya ketidak tahuan atau lupa akan ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat.
Dalam bab pembahasan akan dibahas tentang rincian hadist yang membahas tentang kewajiban kita melaksanakan sholat 5 waktu. Adapun berbagai penjelasan yang memperkuat hadist tersebut. Penjelasan mengenai perintah Sholat yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw : Rasulullah menerima wahyu hanya di dua tempat yaitu di Mekah dan Madinah, makanya dikenal dengan Ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah, dalam Al Qur’an tidak ditemukan Allah membuat keputusan yang berubah-ubah, hanya ada beberapa ayat yang turunnya bertahap untuk menetapkan hukum atau aturan hidup.
        












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teks  Hadits
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

Dari Ali radliallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya (dari segala ucapan dan gerakan di luar shalat) adalah takbir,  dan yang menghalalkannya kembali adalah salam.” (HR. Abu Daud no.56, Ahmad no.957, Ad-Darimi no.684, Ibnu Majah no.271, Tirmidzi no.3)*



B.     Bentuk Hadist
1.      Hadist Qauli
Hadis diatar termasuk hadis qauli karena berupa perkataan atau ucapan Nabi SAW. Yang berisi berbagai petunjuk syara’, gerakan shalat diawali (Takbiratul Ihram berasal dari dua kata : Takbir (ucapan Allahu Akbar) dan Ihram (pengharaman), ketika dua kalimat ini digabung maka bermakna : Ucapan takbir yang memulai pengharaman dari melakukan hal-hal yg dilarang dalam shalat. Seperti makan, minum, berbicara kepada selain Allah SWT dan Rasul SAW dan hal-hal yang diajarkan Rasulullah SAW sebagai mubthilat (yg membatalkan) shalat.
Berdiri tegak lurus, berdiri tegak, mengangkat kedua tangan sejajar telinga, lalu melipatnya di depan perut atau dada bagian bawah).


2.      Hadist Nabawi
Disebut hadist nabawi karena hadist tersebut dinisbatkan kepada Rasul SAW. Dan diriwayatkan dari beliau.




C.     KOMPONEN – KOMPONEN HADIST
1.      Sanad
Menurut bahasa artinya “ sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran ( al mu’tamad ) “ atau “ yang bisa dijadikan pegangan “ atau “ sesuatu yang terangkat ( tinggi ) dari tanah “. Sedangkan menurut istilah :
هو طريق المتن, أي سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن من مصدره الأول
Sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada matan hadits yaitu silsilah para perawi yang memindahkan ( meriwayatkan ) matan dari sumbernya yang pertama. Contoh ( yang bercetak tebal ): 
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

2.      Matan
Matan menurut bahasa artinya “ membelah, mengeluarkan, mengikat atau sesuatu yang keras bagian atasnya “. Sedangkan menurut istilah ahli hadits yaitu :
ما ينتهي إليه السند من الكلام
Sesuatu yang berakhir padanya ( terletak sesudah ) sanad, yaitu berupa perkataan. Maksudnya perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.
Ada juga yang mendefinisikan sebagai :
هو ألفاظ الحديث التي تقوم بها معانيه
Yaitu lafadz hadits yang memuat berbagai pengertian. Maksudnya redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung pengertiannya.
Dinamakan matan karena hal ini yang paling penting, yang dicari dan yang menjadi tujuan dari sebuah hadits. Contoh ( yang bercetak tebal ) : 
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

3.      Rawi
Rowi menurut bahasa, adalah orang yang meriwayatkan hadits dan semacamnya. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan. Syarat-Syarat Rawi sebagai berikut :
1. Islam, karena itu, hadis dari orang kafir tidak diterima.
2. Baligh, hadis dari anak kecil di tolak
3. ‘Adalah (sifat adil)
4. Dhobth (teliti, cerdas dan kuat hafalannya)
Contoh : Dari Ali radliallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya (dari segala ucapan dan gerakan di luar shalat) adalah takbir,  dan yang menghalalkannya kembali adalah salam.” (HR. Abu Daud no.56, Ahmad
no.957, Ad-Darimi no.684, Ibnu Majah no.271, Tirmidzi no.3)*








D.    PEMBAGIAN HADIST BERDASAN KUANTITAS RAWI
1.      HADIST HASAN
Hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil namun tidak sempurna kekuatan hafalannya/dhabith serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat di dalamnya”[2]. Jadi menurut Ibn Hajar hadist hasan adalah hadits shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan perawinya.
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
dari Ali radliallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya (dari segala ucapan dan gerakan di laur shalat) adalah takbir, dan yang menghalalkannya kembali adalah salam.” ( HR. Abu Dawud, ibnu Majah, Tirmidzi )
menurut imam Tirmidzi hadits ini adalah hadits yang baik (hasan) dalam bab ini. Hadits ini menyatakan bahwa suci dari hadats adalah syarat sah shalat dan bahwa permulaan shalat hanyalah dengan takbiratul ihram tidak dengan yang lain.
                                
2.      HADIST MUTAWATIR
Kata mutawatir menurut bahasa ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Hadis Mutawatir menurut istilah ialah:
"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
Ada juga yang mengatakan:
Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."


Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :


1.      Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

2.      Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk   tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a.  Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut   diqiyaskan dengan jumlah saksi yang      diperlukan oleh hakim.
b.       Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah            para Nabi yang mendapatkan          gelar Ulul Azmi.
c.  Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat           65).
d.  Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).



3.      Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar