MAKALAH
PENDIDIKAN
ISLAM MENATAP ERA INDONESIA BARU
DAN
ARAH
BARU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA
KULIAH
MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Oleh:
1.
Anik
Rosidah F.Z.K (13.61.0001)
2.
Anisa
(13.61.0002)
3.
Anni
Mufidah (13.61.0003)
Fakultas
Agama Islam
Universitas
Darul Ulum Islamic Centre Sudirman GUPPI
UNDARIS
Ungaran
2013
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik
Allah yang telah memberikan dan mengajarkan manusia apa yang belum
diketahuinya, serta berkat rahmat dan hidayah-Nya pada akhirrnya penyusun dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “PENDIDIKAN ISLAM MENATAP ERA INDONESIA BARU DAN ARAH BARU PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM”.
Shalawat beserta salam
semoga tercurah kepada sang pendidik umat, yang telah membawa manusia dari alam
kebodohan kepada alam yang terang benderang oleh ilmu pengetahuan yakni Nabi
Muhammad SAW.
Dalam makalah yang sederhana
ini penyusun akan membahas mengenai ....
Penyusun menyadari dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi
bahasa maupun dari segi pembahasannya, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari pembaca akan memperbaiki penulisan ini.
Tidak lupa penyusun mengucapkan
banyak terima kasih kepada teman-teman, pembimbing dan semua pihak yang telah
membantu dan memotivasi penyusun dalam penulisan makalah ini, mudah-mudahan apa
yang telah diberikan dibalas oleh Allah SWT. Amin.
Ungaran, 20 Oktober 2014
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk
manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu’amalah. Pendidikan sangat penting
karena ia ikut menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik
untuk pribadi maupun untuk masyarakat.
Sejalan dengan itu maka pendidikan agama (Islam) sebagai suatu
tugas dan kewajiban pemerintah dalam mengemban aspirasi rakyat, harus mencerminkan
dan menuju ke arah tercapainya masyarakat Pancasila dengan warna agama. Dalam
kegiatan pendidikan, agama dan Pancasila harus salling isi mengisi dan saling
menunjang. Pancasila harus dapat meningkatkan dan mengembangkan kehidupan
beragama, termasuk pendidikan Islam.
Islam sebagai wahyu Allah yang merupakan pedoman hidup manusia
untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat, baru dapat dipahami,
diyakini, dihayati dan diamalkan setelah melalui pendidikan. Karena Nabi
Muhammad saw. sendiri diutus sebagai pendidik umat manusia, maka tidak
diragukan lagi bahwa ajaran Islam sarat dengan konsep-konsep pendidikan.
Pendidikan agama (Islam) sangat penting dan strategik dalam rangka
menanamkan nilai-nilai spiritual Islam, tetapi hal ini baru merupakan sebagian
dari seluruh kerangka pendidikan Islam.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah
pengertian pendidikan dalam Islam?
2.
Bagaimanakah
eksistensi pendidikan Islam di Indonesia?
3.
Bagaimanakah
pendidikan Islam dan pendidikan nasional?
4.
Bagaimanakah
kondisi obyektif pendidikan Islam di Indonesia?
5.
Bagaimanakah
gambaran masyarakat modern?
6.
Bagaimanakah
konsep pendidikan Islam terpadu?
C.
TUJUAN MASALAH
1.
Apakah
pengertian pendidikan dalam Islam?
2.
Bagaimanakah
eksistensi pendidikan Islam di Indonesia?
3.
Bagaimanakah
pendidikan Islam dan pendidikan nasional?
4.
Bagaimanakah
kondisi obyektif pendidikan Islam di Indonesia?
5.
Bagaimanakah
gambaran masyarakat modern?
6.
Bagaimanakah
konsep pendidikan Islam terpadu?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM
Dalam kedua sumber pendidikan Islam, yakni Al Qur’an dan Sunnah
dapat ditemukan kata-kata atau istilah-istilah yang pengertiannya terkait
dengan pendidikan, yaitu rabba, kata kerja tarbiyah, ‘allama, kata
kerja dari ta’lim dan addaba, kata kerja dari ta’dib.
Kata kerja rabba memiliki beberapa arti, antara lain mengasuh,
mendidik dan memelihara. Adapun kata at-tarbiyah menurut Imam Baidawi,
mengartikan sebagai penyampaian sesuatu pada kesempurnaan secara bertahap atau
sedikit demi sedikit. Menurut Al-Asfahani, kata at-tarbiyah berarti
menjadikan atau mengembangkan sesuatu melalui proses tahap demi tahap sampai
batas kesempurnaan.
Selanjutnya ‘Abdur Rahman Al-Bani meninjau dari asal bahasanya,
istilah at-tarbiyah mencakup empat unsur:
1.
Memelihara
pertumbuhan fitrah manusia.
2.
Mengembangkan
potensi dan kelengkapan manusia yang beraneka macam (terutama akal budinya).
3.
Mengarahkan
fitrah dan potensi manusia menuju kesempurnaannya.
4.
Melaksanakan
secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan anak.
Sedangkan
kata kerja ‘allama berarti mengajar yang lebih bersifat pemberian atau
penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan. Kata kerja addaba
dapat diartikan mendidik yang lebih tertuju pada penyempurnaan akhlaq budi
pekerti.
Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya, Konsep Pendidikan Islam,
dengan gigih mempertahankan penggunaan istilah ta’dib untuk konsep
pendidikan Islam, bukan tarbiyah, dengan alasan bahwa dalam istilah ta’dib,
yang berasal dari kata addaba, mencakup wawasan ilmu dan amal yang merupakan
esensi pendidikan Islam.[1]
Namun mengingat pengertian at-tarbiyah mencakup emapat unsur
sebagaimana dikemukakan Abdur Rahman Al-Bani di atas, kiranya kata tersebut
cukup menggambarkan keluasan dan ketepatannya. Karena itu istilah pendidikan
dinisabtakan dengan at-tarbiyah.
Berdasarkan tinjauan kebahasaan di atas pengertian pendidikan
menurut pandangan Islam dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Pendidikan
adalah tindakan yang dilakukan secara standar dengan tujuan memelihara dan
mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya
manusia seutuhnya (insan kamil).
b.
Pendidikan
adalah proses kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan,
seirama dengan perkembangan subjek didik.
c.
Pendidik
yang sebenar-benarnya (Al-Haq) adalah Allah sebagai Rabbul ‘alamin.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk
pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang
berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap
pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan
Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah
sewajarnya untuk dapat memahami hakikat pendidikan Islam itu bertolak dari
pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam.
B.
EKSISTENSI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Pendidikan Islam di
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari proses sejarah sebelumnya. Faktor utama
hal ini adalah sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Sejalan dengan proses
penyebaran Islam di Indonesia, pendidikan Islam sudah mulai tumbuh meskipun
masih bersifat individual. Para penganjur agama ini mendekati masyarakat dengan
acara yang persuasif dan memberikan pengertian tentang dasar-dasar agama Islam.
Dengan memanfaatkan
lembaga-lembaga masjid, surau, dan langgar mulailah secara bertahap berlangsung
pengajian umum mengenai tulis baca al-Quran dan wawasan keagamaan. Namun
demikian, pelembagaan khusus untuk pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam di
Indonesia baru terjadi dengan pendirian pesantren. Lembaga ini diperkirakan
muncul pada abad ke-13 M dan mencapai perkembangannya yang optimal pada abad
ke-18 M. Para ahli agaknya sepakat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan
Islam tertua di Indonesia.
Semangat umat Islam
untuk mendalami ajaran agamanya secara menyeluruh terus meningkat. Untuk tujuan
ini, sebagian lulusan pesantren melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke
beberapa pusat kajian Islam di Timur Tengah. Fenomena gelombang besar para umat
Islam ke Timur Tengah intensif mulai dari akhir abad ke-18 M yang pada akhirnya
tidak saja menambah wawasan keilmuan mereka tetapi juga menambah pengalaman dan
inspirasi mereka dari gerakan modernisasi pendidikan Timur Tengah. Lulusan-lulusan
pendidikan Timur Tengah pada masa itu kemudian menjadi pemrakarsa pendidikan
madrasah-madrasah di Indonesia.
Pendirian
lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia, dalam berbagai bentuk dan
coraknya, merupakan upaya pendidikan untuk masyarakat secara terbuka. Sampai
munculnya pesantren, lembaga pendidikan Indonesia sebelumnya cenderung bersifat
sangat ekslusif. Pada masa pra-Islam, selain para rohaniawan Hindu, tidak semua
orang dapat mengikuti pendidikan yang terlembagakan. Sedangkan pada masa
penjajahan, sekolah-sekolah pada mulanya didirikan untuk kalangan bangsawan dan
kaum penjajah. Baru setelah adanya desakan gerakan pencerahan dan perjuangan
kalangan terdidik Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan
pendirian sekolah-sekolah rakyat yang lebih terbuka.
Jadi perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia berasal dari proses interaksi misi Islam dengan
tiga kondisi. Pertama, interaksi Islam dengan budaya lokal pra Islam telah
melahirkan pesantren. Meskipun pandangan ini masih kontroversial, tetapi
pelembagaan pesantren bagaimanapun tidak bisa dipisahkan dari proses akulturasi
Islam dalam konteks budaya yang dibawa penjajah.
Kedua, interaksi
pendidikan Islam dengan tradisi Timur Tengah modern telah menghasilkan lembaga
madrasah.
Ketiga, interaksi Islam
dengan politik pendidikan Hindia Belanda telah membuahkan lembaga dan sekolah
Islam, tetapi dalam sejarah pendidikan di Indonesia kedua lembaga itu lahir
dari inspirator yang berbeda: satu dari lulusan Timur Tengah modern, sedang
yang lain dari gerakan yang kooperatif dengan pendidikan ala Belanda.
C. PENDIDIKAN ISLAM DAN PENDIDIKAN NASIONAL
Pembahasan ini
didasarkan pada pendidikan Indonesia dalam konteks historis bukan pada konsep
atau paradigma keilmuannya. Karena ketika bermaksud melaksanakan pendidikan
untuk rakyat Indonesia diawali oleh pemerintah Hindia Belanda yang telah
memilih lembaga pendidikan sekolah sedangkan lembaga pendidikan Islam masih
lembaga non formal. Jadi lembaga pendidikan Islam merupakan institusi
pendidikan yang berkembang atas dasar dukungan dan kekuatan dari masyarakat
sendiri. Dengan demikian, sejak saat itulah munculnya sistem pendidikan untuk
rakyat Indonesia, antara pendidikan pemerintah Hindia Belanda dan pendidikan
Islam. Hl inilah yang pada akhirnya membuyarkan konsep ilmu Islam.
Meskipun demikian,
dalam perkembangannya banyak sekolah Islam yang mendapat pengakuan dan subsidi
dari pemerintah, karena menggunakan sistem dan kurikulum yang hampir sama
dengan sekolah pemerintah. Sementara itu pesantren pada umumnya tetap menjaga
jarak dengan sistem pendidikan persekolahan, baik karena alasan agamis maupun
politis.
Pada perkembangan
selanjutnya pemerintah melakukan upaya nasionalisasi untuk mengakomodir
pendidikan Islam yang memang terus mengakar dan berkembang. Peristiwa ini
didukung oleh UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 1989 dan sebelumnya didahului dengan
SKB Tiga Menteri. Perkembangan terakhir adanya UU Sisdiknas Nomor 20 tahun
2003. Perkembangan yang spektakuler dari sekolah-sekolah Islam inilah yang
memunculkan beberapa nama sekolah terkenal seperti pesantren Gontor Darussalam,
Maarif, Al-Azhar dan sangat banyak yang lainnya.
Dengan beberapa
perkembangan sebagaimana digambarkan di atas, posisi pendidikan Islam dalam
sistem pendidikan nasional dapat diidentifikasi sediktinya ke dalam tiga
pengertian.
Pertama, pendidikan
Islam adalah lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren, pengajian
dan madrasah diniyyah.
Kedua, pendidikan Islam
adalah muatan atau materi pendidikan agama Islam dalam kurikulum pendidikan
nasional.
Ketiga, pendidikan
Islam merupakan ciri khas dari lembaga pendidikan persekolahan yang
diselenggarakan oleh departemen agama dalam bentuk madrasah, dan oleh
organisasi dan yayasan keagamaan Islam dalam bentuk sekolah-sekolah Islam.
D. KONDISI OBYEKTIF PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Praktek pendidikan
Islam di Indonesia sebagaimana diidentifikasi di atas mengalami pasang surut
dari waktu-waktu. Namun demikian, dalam perkembangan terakhir kenyataanya
menunjukkan kemajuan, setidaknya jika dilihat indikator kuantitatif.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum misalnya berlangsung
minimal 2 jam pelajaran perminggu. Bahkan banyak sekolah lainnya menambah
dengan kegiatan ekstrakurikuler dan termasuk juga kurikulum muatan lokal.
Selain itu di sekolah-sekolah juga diadakan paket-paket khusus keagamaan seperti
pesantren kilat, dan kurikulum plus.
Adapun masalah klasik
yang menjadi perdebatan saat ini di sekolah-sekolah adalah mengenai kurangnya
jumlah jam pelajaran. Hal ini diiringi dengan adanya keluhan dari para guru
mengenai prilaku murid atau kenakalan serta menurunnya akhlak anak. Beberapa
sekolah yang kreatif mereka mencari berbagai strategi supaya
kesulitan-kesulitan pembinaan akhlak anak tersebut dapat diatasi. Sehingga di
beberapa sekolah ditemukan para guru dengan mensyaratkan perilaku dan lulusan nilai
pengetahuan dan sikap serta praktek agama untuk dapatnya siswa mengikuti
berbagai ujian.
Adapun secara kuantitas
jumlah Madrasah Ibtidaiyah (MI), MTs dan MA sangat benyak peningkatan. Ini
menandakan bahwa pendidikan Islam itu memiliki peningkatan yang signifikan.
E. GAMBARAN MASYARAKAT MODERN
1. Masyarakat Modern antara Harapan dan Tantangan
Zaman beredar masa berganti, mau tidak mau masyarakat
terus berkembang, berubah. Para pemegang kebijakan mengarahkan perubahan
masyarakat menuju masyarakat maju, masyarakat modern, masyarakat yang
mengandung harapan-harapan ideal.
Masyarakat modern dewasa ini seperti dibayangkan oleh
sementara belahan utara atau masyarakat Barat pada umumya, di mana ilmu
pengetahuan dan teknologi telah menggapai puncak-puncak pencapaiannya.
Industrialisasi besar-besaran dengan produktiita yang tinggi, kemajuan dalam
perangkat luna dan keras (software dan hardware), dan kekayaan melimpah,
komunikasi dan transportasi semakin mudah dan cepat. Sosok itulah yang sering
dijadikan identitas kemajuan dan kemodernan.
2. Problematika Masyarakat Modern
Masyarakat modern saat ini merupakan berawal dari liberasi Eropa sebagai
kontak peradabn Islam pada akhir abad pertengahan. Merupakan liberasi yang
membelenggu intelektualitas dan pengembangan ilmu. Liberasi itu akhirnya sampai
pada tahap yang paling ekstrim berupa sekularisme, agnotisme, bahkan ateisme,
seperti ungkapan Nietzsche “God is dead” (Tuhan telah mati).
Di sisi lian sekuralisme Barat telah berhasil mengantarkan manusia ke
puncak-puncak pencapaian ilmu dan teknologi, seperti yang kita lihat pada masa
kini. Namun pada sisi sekularisme itu juga menjerumuskan manusia pada
kenestapaan, kegersangan spiritual, kedemasan intelektual, kekerasan
struktural, kehancuran lingkungan menghadapi polusi. Tenaga nuklir mendatangkan
berbagai manfaat tetapi orang semakin takut tak menentu dihadapkan dengan daya
penghancur dan pemusnahannya yang mengerikan. Produk teknologi memebrikan
banyak kemudahan tetapi manusia sering menjadi kehilangan nilai (dehumanisasi).
Berbagai hasil melimpah tetapi manusia sering menjadi konsumeristis dan semakin
serakah.
Erich Fromm, sebagai budayawan Barat yang secara langsung menghayati hiruk
pikuknya masyarakat modern, mengemukakan bahwa akhir abad 29 ini merupakan
permulaan revolusi industri II. Ciri utamanya ialah daya kehidupan manusia
tidak saja telah digantikan oleh energi mesin tetapai cara berpikir manusia
juga telah digantikan oleh jalan pikiran mesin, sementara realitas kehidupan
manusia semakin dikendalikan oleh materialisme hedonistik.[2]
Akibatnya tiada lain hanya berkisar pada “to have more and to use more”.[3]
Akibatnya yang fatal adalah kebosanan mencekam kehidupan, ibarat orang yang
mereguk minuman asin, semakin mereguk semakin menambah dahaga.[4]
Masyarakat modern sudah demikian keadaannya, meskipun telah banyak
diupayakan pembelajaran termasuk reorientasi sikap hidup. Ziyauddin Sardar
menggambarkan masyarakat modern yang Industrial sebagai berikut:
1. Meningkatnya pengaruh lingkungan terhadap aktivitas manusia.
2. Makin sedikitnya sumber-sumber daya yang dapat dilestarikan.
3. Peningkatan eksponensial penduduk.
4. Masalah peningkatan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk
dunia.
5. Meningkatnya kecenderungan kepada modernisasi dan industrialisasi dari
hampir seluruh aktivitas manusia.
6. Meningkatnya kecenderungan pada urbanisasi dan tumbuh suburnya megalopolis.
7. Melebarnya jurang antara negara maju dengan negara berkembang.
8. Meningkatnya ketergantungan pada teknologi.
9. Meningkatnya kecenderungan budaya indreawi, yang bersifat sekuler, duniawi,
humanis pragmatis, utilitis dan hedonistis.
10. Meningkatnya penganggura dan berkurangnya lapangan kerja.
11. Pembaharuan yang dirangsang timbulnya bukan karena kebutuhan riil, tetapi
oleh makin besarnya ketidakseimbangan konsumsi.
12. Meningkatnya keterpisahan dari alam, keterasingan manusia dari dirinya
sendiri (alienasi), dari sesama manusia, dari alam lingkungannya dan
keterasingan manusia dari Allah. [5]
3. Agama sebagai Alternatif
Di sini kesadaran keagamaan menjawab tuntutan spiritualnya
sendiri untuk melakukan aksi sosial yang bertanggungjawab tentang perlunya
penataan kembali susunan masyarakat atas dasar basis moralitas yang lebih dapat
diterima. [6]
Islam sebagai agama yang mengandung nilai-nilai
universal dan eternal dan sebagai agama fitrah karenanya memiliki daya adaptatif
yang tinggi terhadap berbagai
perkembangan dan perubahan, maka sudah semestinya mampu menjawab berbagai
masalah dan issu-issu dasar yang menantang baik di masa kini maupun di masa
yang akan datang.
Sesungguuhnya masalah hubungan antara ilmu pengetahuan
an teknologi dengan agama sekarang ini sudah tampak benang merah yang
menjembatani kesenjangan yang selama ini sudah terjadi. Hal ini yumbuh seiring
dengan tumbuhnay kesadaran umat manusia akan keterbatasan ilmu pengetahuan
dalam memecahkan berbagai masalah umat manusia, terutama yang berkaitan dengan
masalah moralitas.
Dr. Soedjatmoko, sebagai budayawan sekaligus futurolog
berbicara mengenai hubungan agama dan ilmu pengetahuan dalam bukunya Etika
Pembebasan, sebagai berikut:
Terbentuknya ilmu pengetahuan dan teknologi pada
masalah moral pokok, telah mengubah sifat interaksi antar agama, dengan susah
payah, sering mengejar dan menyesuaikan diri pada perubahan-perubahan sosial
dan mencoba membela diri terhadap tantangan-tantangan yang terus menerus
dilontarkan oleh ilmu pengetahuan, sekarang ilmu dan teknologi sendiri tidak
bisa lagi menjawab petanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, dan menemukan
patokan-patokan dari lingkungan agama dan etika.[7]
F. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM TERPADU
Upaya untuk menyusun
konsep pendidikan Islam yang terpadu merupakan satu langkah alternatif yang
perlu dilakukan. Beberapa masalah yang perlu dibahas:
1. Asumsi
Pertama, pendidikan
merupakan suatu gejala kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari gejala
kehidupan sosial yang lain. Hubungan timbal balik, saling tergantung dan saling
mennetukan merupakan kenyataan yang kini sudah menjadi asumsi.
Kedua, pendidikan
merupakan kesatuan empat proses sebagai unsur pokok yang melekat, yaitu:
1. Proses pengenalan hakekat hidup, asal, tujuan, dan nilai-nilainya.
2. Proses keterpaduan anasir kehidupan dengan kepribadian.
3. Proses perkembangan sumber daya manusia.
4. Proses pengolahan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan praktis
dalam ruang waktu bobot kehidupan. [8]
Keempat proses tersebut
merupakan penjabaran proses dari pengertian pendidikan Islam sebagaimana
tersebut dalam bab terdahulu.
Dari kedua asumsi
tersebut dapat disimpulkan maksud keterpaduan, yaitu:
1. Keterpaduan dam menyusun kebijakan
Maksudnya dalam
memandang, merancang dan menyususn sistem pendidikan harus dipikirkan dalam
kaitannya dengan sistem lain yang relevan.
2. Keterpaduan dalam proses pendidikan
Empat proses tersebut
di atas harus dikembangakan secara integratif, sehingga akan menghasilkan
manusia yang utuh.
2. Menuju Sistem Pendidikan Terpadu
a. Memadukan Wawasan Ilmu dan Agama
Hasil pengamatan para ahli bahwa salah satu faktor utama penyebab dikotomi
atau disintegrasi sistem pendidikan Islam adalah karena terpisahnya agama dan
ilmu. Muhammad Naquib Al-Atas berpendapat bahwa perlu dilakukan pemaduan
kembali wawasan ilmu dan agama dalam Islam.
Menurut Islam semua ilmu pada hakekatnya berasal dari Allah. Ilmu Allah
yang tertulis ialah Al Qur’an, sedang yang tidak tertulis terdapat dalam
peristiwa-peristiwa atau gejala alam (ayat-ayat Kauniyah). Sampai akhir proses
pendidikan subjek didik dapat memilih spesiaisasi disiplin tertentu, namun ilmu
agama dalam batas tertentu yang dapat menentukan amaliah Islami harus dimiliki
oleh setiap Musim. Ini perlu untuk memelihara integritas kepribadian Muslim.
b. Penjabaran Tujuan
Pedidikan harus mampu
berkesinambungan dan bertahap menyadarkan umat manusia akan fitrah dan
potensi-potensinya, kepercayaan pada dir sendiri, moral dan harkat hidup serta
kekayaan nilai dan keagungan risalah Islami, yang semua itu baru merupakan
konsep-konsep ideal maka yang ideal itu perlu dioperasinalkan dalam rumusan
yang lebih realistis sesuai dengan tantangan yang dihadapi, baik pada masa kini
maupun masa mendatang.
Oleh karena itu tujuan
operasional pendidikan Islam dihadapkan pada keharusan adanya rumusan jangka
panjang dan jangka pendek. Yang dimaksud
rumusan jagka panjang dan jangka pendek ialah bertumpu pada:
1. Pemberian bekal kemampuan intelektual dan berdiri di atas dasar kekuatan
berpikir dan bernalar.
2. Pembentukan sifat dan sikap.
a. Mengahargai waktu
b. Hemat, tidak boros, hidup sederhana
c. Bekerja keras dan berorientasi ke masa depan
d. Berani dan ulet menghadapi segala kesulitan dan resiko
e. Sungguh-sungguh dalam menghadapi perkara
f. Berorientasi ke masa depan dan berani berkorban masa kini demi masa depan
yang lebih baik
g. Kebersamaan dan mempunyai solidaritas berbangsa, bernegara lebih ukhuwah
Islamiyah
h. Dilandasi dengan iman dan taqwa kepada Allah agar tidak terjerumus ke
sekularisme dan dekadensi moral
Yang dimaksud dengan rumusan jangka pendek adalah tertumpu pada pemberian
kemampuan keterampilan praktis serta berdiri di atas dasar kebutuhan terapan
dan kompetensi masa kini. Kemampuan ini akan langsung bermanfaat pada beberapa
bidang pekerjaan tertentu. Kelemahan rumusan jangka pendek adalah adanya kesulitan
dalam menghadapi perubahan keadaan dan tuntutan yang begitu cepat berubah sehingga
program yang direncanakan masa kini mungkin sudah tidak sesuai dan tidak
dibutuhkan lagi.
Sehubungan dengan berbagai tantangan seperti di atas, pendidikan agama yang
sudah memiliki akar keputusan sistemik di negeri kita akan semakin lebih
dituntut melaksanakan fungsinya yang sangat penting dan strategis. Sebagaimana
dikemukakan oleh Dr. Sudjatmoko, pendidikan agama akan dapat memenuhi fungsinya
yang snagat penting dalam perkembangan sosial yang akan datang di Indonesia,
apabila:
1. Berusaha memupuk beberapa sifat tertentu, diantaranya keberanian hidup,
kesanggupan untuk berdiri sendiri di atas kaki sendiri dan untuk berinisiatif,
peka terhadap hak dan keperluan sesama manusia dan sanggup bekerja sama untuk
kepentingan umum.
2. Berusaha untuk memupuk motivasi yang kuat pada anak didik utnuk mempelajari
dan memahami kenyataan-kenyataan sosial yang terdapat di masyarakat masa kini.
3. Berusaha meranngsang anak didik untuk mengamalkan iman mereka.
4. Berusah berintegrasi dan bersinkronisasi denagn pendidikan non agama. [9]
c. Pendayagunaan potensi yang ada
1. Masjid, lebih dikembangkan dan ditingkatkan daya gunanya,, tidak hanya
sebagai tempat ibadah tetapi sebagai pusat kegiatan sosial dan pendidikan.
Dengan demikian peranan
masjid sebagai pusat pendidikan yang keempat (di samping sekolah, keluarga dan
masyarakat) dapat di fungsikan sebagaimana mestinya.
2. Pondok pesantren perlu dikembangkan untuk menyelenggarakan jenis pendidikan
non formal, karena kenyataan tida mungkin mengharapkan mayoritas lulusan pondok
pesantren untuk menjadi ulama’ atau meneruskan ke jenjang pendidikan yan lebih
tinggi, sehingga mereka yang tidak dapat meneruskan studinya dapat terjun dalam
masyarakat sebagai tenaga kerja siap pakai.[10]
3. Perguruan-perguruan tinggi Islam yan sudah ada lebh diupayakan untuk
memeperluas dan meningkatkan program pendidikannya dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi.
4. Perguruan Tinggi Agama Islam seperti IAIN, terus diupayakan mampu
meningkatkan otoritasnya dalam bidang ilmu pengetahuan keislaman, dengan
berpijak pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai kurikulum intinya yang
dikembangkan dengan perluasan wawasn kekinian dan masa depan.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim
seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah
maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan
Allah, manusia dan alam semesta.Lembaga pendidikan
Islam merupakan institusi pendidikan yang berkembang atas dasar dukungan dan
kekuatan dari masyarakat sendiri.
Para pemegang kebijakan
mengarahkan perubahan masyarakat menuju masyarakat maju, masyarakat modern,
masyarakat yang mengandung harapan-harapan ideal.Masyarakat modern dewasa ini
seperti dibayangkan oleh sementara belahan utara atau masyarakat Barat pada umumya,
di mana ilmu pengetahuan dan teknologi telah menggapai puncak-puncak
pencapaiannya.
Masyarakat modern saat
ini merupakan berawal dari liberasi Eropa sebagai kontak peradabn Islam pada
akhir abad pertengahan. Merupakan liberasi yang membelenggu intelektualitas dan
pengembangan ilmu. Liberasi itu akhirnya sampai pada tahap yang paling ekstrim
berupa sekularisme, agnotisme, bahkan ateisme.
Islam sebagai agama
yang mengandung nilai-nilai universal dan eternal dan sebagai agama fitrah
karenanya memiliki daya adaptatif yang
tinggi terhadap berbagai perkembangan dan perubahan, maka sudah semestinya
mampu menjawab berbagai masalah dan issu-issu dasar yang menantang baik di masa
kini maupun di masa yang akan datang.
Hasil pengamatan para
ahli bahwa salah satu faktor utama penyebab dikotomi atau disintegrasi sistem
pendidikan Islam adalah karena terpisahnya agama dan ilmu.
Pedidikan harus mampu
berkesinambungan dan bertahap menyadarkan umat manusia akan fitrah dan
potensi-potensinya, kepercayaan pada dir sendiri, moral dan harkat hidup serta
kekayaan nilai dan keagungan risalah Islami, yang semua itu baru merupakan
konsep-konsep ideal maka yang ideal itu perlu dioperasinalkan dalam rumusan
yang lebih realistis sesuai dengan tantangan yang dihadapi, baik pada masa kini
maupun masa mendatang.
DAFTAR
PUSTAKA
· Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humarisme
Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
· Achmadi. Islam Sebagai Paradigma
Ilmu Pendidikan, Yogyakarta:
Aditya Media, 1992.
· Daradjat, Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksar, 1991.
· Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991.
[1] Naquib
Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam. Mizan, Bandung, Cet.I, 1984, hal 60
[2] Erich Fromm, The
Revolution of Hope Toward a Humanized Technology, New York & Row, 1968,
p. 26.
[3] Ibid,
hlm. 38.
[4] Ibid,
hlm. 39
[5] S.H.
Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Terj. Anas Mahyuddin, Pustaka,
Bandung, 1403/1983 hlm. 4-5.
[6] Habib
Chirzin, “Kajian Buku Agama dan Pembaharuan”, Akademika. UMS, No. 7
Oktober 1983, hlm. 81.
[7]
Soedjatmoko, Etika Pembebasan. LP3ES, Jakarta, hlm. 203-4
[8] A.M.
Syaefuddin dkk, “Menuju Pendidikan yang Terpadu”, Pesantren, No.
4/Vol. III, 1986. Hlm. 74.
[9]
Soedjatmoko, Pikiran-Pikiran Seri Monografi I. LPSK, UMS, 1983, hlm.
25-26.
[10] Muchtar
Buchori dalam makalahnya “Reformasi Pendidikan untuk Menyongsong Era
Industrialisasi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar